Rabu, 20 Mei 2009

AMOS 5:21-22

AMOS 5:21-22
”Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu.
Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka,
Dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang.”

Nabi Amos adalah seorang peternak domba dan pemungut buah ara dari Tekoa sebelum dipanggil untuk menjadi nabi. Amos bekerja sebagai nabi dan bernubuat di Israel Utara kira-kira pada tahun 760 sM. Amos muncul di tempat suci kuno Betel sebagai nabi dan di tempat inilah dia memberitahukan bahwa kerajaan Israel Utara akan hancur. Kehancuran ini merupakan akhir dari kerajaan Israel Utara yang akan terjadi dalam bentuk kekalahan militer yang disusul oleh pembuangan seluruh penduduk negeri. Musibah ini tidak diketahui alasan tepatnya. Akan tetapi melalui nubuatan Amos dalam kitabnya dapat dilihat atau ditemukan alasan-alasan munculnya musibah-musibah yang akan menimpa Israel Utara. Salah satu alasannya adalah Amos menemukan keanehan dalam peribadahan Israel. Amos tadinya melihat ibadah Israel sebagai ibadah yang teratur, tetapi pada kenyataannya ibadah mereka ini hanyalah tipuan yang tidak berguna.
Amos 5:21-22 merupakan bagian dalam perikop Amos 5:21-27 dengan tema ”Ibadah Israel Dibenci Tuhan.” Satu keseluruhan perikop ini menyingkapkan penyakit agama bangsa Israel dan perubahan atau pembaharuan agamawi. Bagian perikop ini dimulai dengan penolakan ilahi terhadap praktek-praktek agamawi yang berlaku di Israel. Penolakan ini jelas terlihat pada ayat 21 dan 22 dimana Tuhan sangat membenci dan memandang rendah (despise à terjemahan NIV) atau menghinakan (terjemahan LAI) perayaan dan perkumpulan kaum Israel. Persembahan atau korban yang sudah biasa dilakukan ditolak oleh Tuhan. Tuhan pasti memiliki alasan yang tepat untuk menolak perayaan, perkumpulan dan korban umat Israel. Hal inilah yang ingin Amos sampaikan lewat nubutannya kepada bangsa Israel.
Ayat 21 menceritakan Tuhan membenci perayaan dan perkumpulan Israel. Kebencian ini dikarenakan kemunafikan dan kepura-puraan umat Israel dalam melaksanakan peribadahan. Kemunafikan dan kepura-puraan dapat dilihat dari ketidakadilan yang dipraktekkan oleh umat Israel. Pada zamannya ini menceritakan bahwa di Israel terjadi praktek jual-beli manusia untuk dijadikan budak sebagai ganti hutang. Praktek ketidakadilan dan tindakan amoral ini sangat bertentangan dengan praktek agamawi yang dilakukan oleh umat Israel.
Mereka melaksanakan peribadahan karena takut datangnya musibah-musibah yang akan segera menimpa mereka. Mereka menjadikan ibadah sebagai jaminan keselamatan, ketentraman dan perkenanan Tuhan. Dengan kata lain ibadah hanya bersifat formal saja. Di sini Amos ingin mengatakan bahwa tidak ada gunanya melaksanakan ibadah jika sistem pemerintahan Israel masih dalam ketidakadilan. Sungguh sangat sia-sia ibadah yang dilaksanakan karena hanya merupakan kemunafikan dan kepura-puraan.
Ayat 22 bercerita tentang penolakan Tuhan atas korban bakaran, korban sajian dan korban keselamatan yang dipersembahkan umat Israel. Korban persembahan ini merupakan hasil dari ketidakadilan dan ketamakkan Israel. Hal inilah yang tidak disukai oleh Tuhan sehingga penolakan pun terjadi. Penolakan tidak hanya terjadi dalam perayaan dan perkumpulan, tetapi juga ritual atau korban persembahan umat Israel. Perayaan yang serba mewah dan korban-korban yang mahal itu dipersembahkan dengan hasil penindasan kepada kaum miskin. Tuhan tidak akan menerima ritual seperti itu karena sesungguhnya persembahan itu dipersembahkan bukan untuk Tuhan, tetapi untuk ilah lain.
Berdasarkan teks ini dapat ditarik kesimpulan yang dapat dimaknai bahwa pelaksanaan praktik ibadah hendaknya sejalan dengan kebenaran dan ketaatan. Ibadah akan sia-sia jika dijalani bergandeng dengan kefasikan dan hanya berakibat dosa. Ibadah seharusnya dijadikan sebagai penyembahan kepada Allah dan bukannya pendurhakaan. Sesering dan serajin kita melaksanakan ibadah, tetapi hanya karena tuntutan atau sekedar kewajiban dan bukan dari kesungguhan hati merupakan suatu kesalahan yang besar yang kita perbuat. Allah menginginkan ibadah yang benar-benar tulus dari hati kita.
Persembahan memang penting, tetapi jika persembahan itu adalah hasil dari ketidakbenaran dan ketidakadilan, seperti hasil korupsi hanya akan membawa kita kepada dosa dan murka Allah. Apa yang kita berikan dan persembahkan kepada Allah tidak akan diterima. Sekecil dan sesedikit apa pun yang kita berikan, jika itu merupakan kerelaan dan ketulusan hati pasti akan diterima oleh Allah. Satu hal yang penting adalah jangan jadikan ibadah sebagai formalitas saja.Daftar rujukan buku tafsir: WBC dan AB

Pengkhotbah 11:9

Pengkhotbah 11:9

“Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan!”

Nama “Pengkhotbah” dalam bahasa Ibrani disebut dengan Qohelet (kohelet) dan Ecclesiastes (Latin), yaitu orang yang memanggil suatu siding, mungkin untuk mengajarnya. Qohelet tidak sama dengan pengkhotbah Kristen yang memberitakan firman Tuhan berdasarkan nas Alkitab, tetapi Qohelet mengambil bahannya berdasarkan pengamatannya sendiri mengenai hidup dan bukan dari kitab Taurat atau Nabi-nabi. Kitab ini ditulis jauh sesudah abad ke-10sM (zaman Salomo). Penulis kitab ini jelas adalah seorang bijak yang berhasrat untuk menantang pendapat-pendapat dan nilai-nilai orang-orang bijak lainnya. Beberapa ahli menghubungkan Qohelet dengan Kitab Amsal dan Kidung Agung sebagaimana yang ditetapkan dalam septuaginta. Alasannya bahwa isinya merupakan acuan tak langsung pada Salomo. [1]
Ayat ini termasuk dalam struktur mengenai kata-kata nasehat dan yang lebih khususnya adalah nikmati hidup sebelum datang hari tua. Ayat ini terlihat seperti kalimat himbauan atau perintah. Dikatakan perintah karena adanya kata “Bersukarialah” yang dalam bahasa Ibraninya syema yang berarti “Dengarkanlah” merupakan bentuk imperatif. LAI tidak menerjemahkan kata syema dengan kata “Dengarkanlah”, tetapi dengan kata “Bersukarialah” dan juga dipakai oleh NIV (“be happy”). Jika dikatakan himbauan, maka yang menjadi sasaran himbauan ini adalah bbakhur (orang pilihan) yang berasal dari kata bakhar (memilih). TB-LAI menerjemahkan kata bbakhur sebagai “orang muda” dan dalam BIS-LAI diterjemahkan dengan “pemuda”. Kata “kemudaanmu” yang dipakai adalah yaldut yang berasal dari kata yaled yang bisa berarti “anak-anak” maupun “pemuda”. Di sini jelas bahwa dalam ayat ini mendapat kesan kalau Qohelet sebagai orang tua yang menghimbau dan mendorong pemuda untuk bersukacita dan bergembira atas kenyataan yang dihadapi dan dialami saat ini bahwa mereka masih muda.
Kata “Hati” dalam ensiklopedia Alkitab masa kini memiliki 2 pengertian. Pertama, secara harfia Ibrani kaved dari akar kata yang berarti ‘berat’. Dalam perkembangannya berarti ‘dihormati’ dan dengan demikian merupakan organ yang berat. Kedua, lev yang berarti pusat perintah dari manusia, seperti jasmani, intelek dan jiwa sebagai sifat manusia. Di sini Qohelet menggunakan arti “hati” yang kedua.
Kata “Hati” (kaved atau lev) disini merupakan sesuatu yang mencakup perasaan dan pikiran. Sedangkan kata “mata” (ayin) dapat mewakili pancaindra. Orang muda seringkali tidak bisa mengendalikan dorongan hasrat, misalkan tidak bisa mengontrol emosi. Hati dan mata sangat berpengaruh untuk menerobos dorongan hasrat dan membuatnya tidak terkontrol. Perasaan dan pikiran serta rangsangan yang didatangkan lewat pancaindra dapat mengganggu orang muda untuk menerobos dorongan hasrat mereka. menuruti keinginan hati dan pandangan mata bukan berarti berbuat seenaknya tanpa berpikir apakah yang dilakukan merupakan tindakan yang baik dan benar. Menuruti keinginan hati dan pandangan mata bukan bersifat hedonisme.
Himbauan Qohelet terputus dengan adanya ayat 9b yang mengingatkan bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban nantinya dalam pengadilan. Pengadilan di sini bisa seperti pengadilan di dunia seberang sana (BIS-LAI: “di surga”) atau nanti di masa depan. Ayat 9b ini sepertinya berupa pernyataan atau kalimat peringatan. Peringatan bahwa Allah akan menuntut kembali atas perbuatan pada ayat 9a dan pada perikop-perikop sebelumnya. Perbuatan yang dimaksud adalah bukan hanya yang baik yang dihasilkan dari perbuatan tersebut, tetapi juga hasil yang tidak baik. Akan tetapi, Qohelet disini tidak begitu jelas dalam mejelaskan tujuan dari pengadilan tersebut, apakah berupa pemeriksaan atau pembalasan. Oleh karena hidup ini tidak dapat dijelaskan, baik dan buruk sepertinya bercampur, maka menurut Qohelet hanya Allahlah yang tahu dan berbicara dengan cara, yaitu pada suatu waktu Allah akan menyingkapkan semuanya itu.
Kemewahan hidup merupakan sesuatu hiburan dan pengabsahan hidup. Semua itu merupakan anugerah Allah. Hidup yang indah dan bahagia adalah pemberian Allah yang sangat besar. Dan sebagai umat manusia merupakan ciptaan-Nya hendaknya menerima hidup yang telah dianugerahkan Tuhan sebagaimana adanya. Tuhan menginginkan yang baik dan benar untuk dilakukan bagi Dia. Sekalipun hidup yang sedang dihadapi sekarang sangat menyakitkan dan masa depan meragukan, tetapi kesukaan tidak mustahil apabila dicari pada tempat yang benar, yaitu dengan bersyukur dan menghargai pemberian-pemberian Allah walaupun sangat sederhana berupa makanan, minuman, pekerjaan dan kasih.
DAFTAR RUJUKAN
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I dan Jilid II
Eaton. A. Michael. Ecclesiastes, An Introduction and Commentary. USA: Inter-Varsity Press. 1983.
Lasor.W. S. Pengantar Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2005.Murphy, Rolano. World Biblical Commentary. Texas: Word Books Publisher. 1992
[1] W. S. Lasor, Pengantar Perjanjian Lama 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hal. 145

ETIKA KRISTEN TENTANG FIRMAN KEEMPAT

ETIKA KRISTEN TENTANG FIRMAN KEEMPAT
“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat” (Keluaran 20:8)

I. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai hari Sabat tentu harus berbicara juga mengenai hari Minggu, karena keduanya saling berhubungan. Banyak interpretasi yang muncul mengenai hari Sabat, baik dari zaman Perjanjian Lama sampai zaman modern ini. Begitu banyak pandangan yang muncul mengenai penetapan dan pemaknaan hari Sabat yang sebenarnya. Bukan hanya masalah penetapan dan pemaknaan, mana yang benar antara hari ketujuh atau hari pertama di setiap minggu yang menjadi hari penetapan dari hari Sabat, tetapi apa yang seharusnya dilakukan pada hari Sabat itu.
.
II. ISI
A. Hari Sabat dalam Perjanjian Lama
Hari Sabat dimaknai dalam penciptaan alam semesta yang tertulis dalam Kejadian 2:2-3: “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuatnya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuatnya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan mengduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatnya itu”. Hari itu dikhususkan Tuhan, karena Ia mau bergembira di dalam persekutuan dengan hasil karya-Nya.
Dalam Hukum Taurat orang Israel ditetapkan peraturan untuk merayakan hari Sabat di Israel. Dan Tuhan pun mengikat perjanjianNya dengan bangsa Israel, sehingga bagi mereka hari itu adalah hari yang sangat penting. Dengan demikian, Tuhan melakukan pekerjaan pelepasan dan pembebasan bagi bangsa Israel. Tuhan kemudianmemberikan tanda perjanjian bagi bangsa Israel, yaitu penetapan peraturan tentang hari Sabat, yang didasarkan pada Kitab Keluaran 20:8-11 dan Kitab Ulangan 5:14,15.[1]
Dalam Keluaran 20:8-11 yang merupakan dasar teologis, dijelaskan bahwa Allah yang dengan kasih karunia-Nya melepaskan Israel dari Mesir adalah Allah yang menjadikan langit dan bumi. Allah menginginkan persekutuan dengan umat-Nya dan umat meluangkan waktu satu hari di dalam seminggu untuk merayakan persekutuan dengan Dia sambil memperingati karya-Nya dengan cara beristirahat di rumah-Nya. Allah memberikan hari Sabat agar umat menguduskan hari itu. Karena hari Sabat merupakan hari yang penuh berkat dan sumber berkat bagi kehidupan di hari-hari lainnya.
Dalam Ulangan 5:14,15 merupakan dasar antroposentris, dijelaskan bahwa penetapan hari sabat didasarkan bukan hanya kepada Allah yang mengikat perjanjian, tetapi juga pada kebutuhan umat Allah sebagai anggota perjanjian tersebut. Di sini umat Israel diingatkan pada masa perbudakan di Mesir, dimana mereka tidak pernah beristirahat karena harus bekerja siang dan malam di setiap harinya. Oleh karena itu, Tuhan memberikan satu hari yaitu hari Sabat sebagai hadiah agar mereka bisa beristirahat setelah enam hari lamanya bekerja.

B. Hari Sabat dalam Perjanjian Baru
Berbicara mengenai hari Sabat dalam Perjanjian Baru tentu harus berbicara mengenai Yesus Kristus. Mengapa? Karena di dalam kitab Injil diketahui bahwa adanya hubungan yang istimewa antara Yesus dan hari Sabat. Dalam Perjanjian Lama, hari Sabat memberi kesaksian tentang Mesias yang adalah Sabat sejati menjadi kenyataan untuk memenuhi tahun rahmat Tuhan (bnd Yes 61:1-4). Yesus adalah Mesias yang telah datang dan kabar baik inilah yang diberitakan Yesus dalam rumah ibadat di Nazaret (Luk 4:14-22).
Pada suatu hari Sabat di rumah ibadat Nazaret, Yesus membuka kitab nabi-nabi dan membaca Yesaya 61. Kemudian Yesus mengatakan bahwa “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”. Yesus pun berkata bahwa makna dan arti penetapan hari Sabat itu telah dipenuhi sepenuhnya di dalam Dia.[2] Di dalam Dia telah datang “Sabat yang besar”, “tahun rahmat Tuhan dan “waktu yang sudah genap”. Oleh karena itu Yesus bangkit berdiri di antara manusia dan berseru kepada mereka: “Marilah kepadaku, semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).
Dalam kitab Injil sering dibahas tentang perselisihan antara Yesus dengan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat mengenai interpretasi dan pengenaan Firman tentang hari Sabat. Orang Farisi telah merubah pandangan Firman Keempat ini dengan ratusan peraturan yang mereka buat sendiri dan ratusan ketetapan buatan manusia. Peraturan dan ketetapan tersebut, seperti dilarang merawat orang sakit pada hari Sabat, dilarang memberi makan kepada hewan, dilarang menyalakan lampu, dilarang melakukan perjalanan dalam jarak tertentu, dan masih banyak ketentuan lainnya. Mereka pun saling mengintai dan memata-matai untuk saling menuduh dan mengecam bagi mereka yang melanggar peraturan dan ketentuan tersebut.
Yesus pun tidak tinggal diam. Dia menentang semua ketentuan yang telah ditetapkan pada hari Sabat oleh para ahli Taurat tersebut. Inilah letak dari inti perselisihan antara Yesus dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Dan inilah inti dari perlawanan Yesus dimana Dia menuduh para ahli Taurat tidak memahami atau tidak mau memahami rahasia ke-Mesias-an yang ada di dalam penetapan hari Sabat itu, yaitu hari Sabat memberitakan kedatangan Sang Mesias.[3] Orang Farisi telah membuat hari Sabat menjadi hari pelepasan diri sendiri, hari bersusah payah daripada hari untuk melihat tanda yang menunjuk kepada Sang Pembawa Damai dan Sumber kesukaan, yakni Sang Mesias dan Kerajaan-Nya.
C. Hari Sabat Menuju Hari Minggu
Penetapan hari Sabat pada hari pertama di setiap minggu bermula dari Rasul Paulus yang menentang ajaran-ajaran para guru Yahudi, yang menyuruh orang-orang merayakan hari Sabat menurut cara orang Farisi. Perjuangan Paulus melawan kaum Yahudi inilah yang menyebabkan dihapusnya perayaan hari ketujuh dan munculnya perayaan hari pertama, hari Minggu sebagai hari Tuhan.[4]
Penetapan ini juga didasarkan pada hari kebangkitan Yesus Kristus yang jatuh pada hari pertama minggu itu.[5] Yesus bangkit pada hari sesudah hari Sabat dan itulah hari kemenangan-Nya. Hari dimana adanya perdamaian, pengampunan dan hari pemulihan hubungan antara Allah dan manusia. Hari ini pun dinamakan dengan Hari Tuhan oleh orang-orang Kristen. Dalam bahasa Yunani hari itu disebut “Kuriake hemera”. Dalam bahasa Latin disebut dengan “Dies dominica” yang berasal dari kata “dominggo” (bahasa Portugis) dan dalam bahasa Indonesia disebut dengan hari Minggu.

D. Hari Sabat dalam pandangan dunia modern
Pandangan zaman sekarang mengenai hari sabat, baik penetapan harinya maupun cara memaknainya tidak jauh berbeda dengan pandangan zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Hal ini terlihat dari munculnya aliran Gereja yang menyebut diri dengan nama Gereja Advent Hari Ketujuh. Aliran ini mengikuti pemahaman Perjanjian lama, tetapi lebih kepada ajaran kaum Yahudi. Salah satu jemaat Gereja ini yang berlokasi di Manado sangat mempraktekkan ketetapan atau ketentuan yang dibuat oleh para ahli Taurat. Pada hari Sabat, mereka tidak boleh melakukan kegiatan apapun, seperti menonton TV dan kegiatan hiburan lainnya. Mereka cukup beristirahat di rumah saja. Hal ini dilakukan sejak hari Jumat sore yang dinamakan buka Sabat dan berakhir pada Sabtu sore yang dinamakan dengan tutup Sabat.
Gereja Protestan dan Katolik merayakan hari Tuhan pada hari pertama, yaitu pada hari Minggu. Sudah jelas bahwa Gereja-gereja ini mendasarkan pemahaman mereka pada Perjanjian Baru dan Gereja Kristen Purba. Mereka tetap beristirahat pada hari Tuhan, tetapi tetap merayakan persekutuan dengan Tuhan. Tidak hanya itu, mereka masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan lain, seperti merawat orang sakit dan melakukan pelayanan lainnya.

E. Hubungan Hari Sabat/Hari Minggu (hari Tuhan) dengan Etika Kristen
Hubungan antara hari Tuhan dengan etika Kristen terletak pada pemahaman atas perintah untuk beristirahat pada hari itu. Perintah ini mempunyai arti keagamaan dan arti sosial. Hal ini harus dipandang dari titik pangkal theosentris dan anthroposentris. Pada kedua unsur inilah berlaku ketentuan yang ada sangkut-pautnya dengan hubungan kita dengan Allah, hubungan kita dengan sesama manusia dan hubungan kita dengan diri sendiri.
a. Segi theosentris
Tuhan dalam Firman Keempat berseru kepada kita bahwa “Berhentilah hari ini dari pekerjaanmu, janganlah sekarang sibuk terus menerus, janganlah sekarang melanjutkan rencanamu dan pekerjaanmu”, dimaksudkan supaya perhatian kita dapat diarahkan kepada karya Tuhan, rencana Tuhan, keputusan Tuhan dan perbuatan Tuhan.[6] Hal ini dinyatakan juga oleh Calvin, yakni bahwa istirahat atau perhentian pada hari Tuhan itu dimaksudkan untuk mewujudkan perhentian rohani yang bagi kita terdiri dari berhenti dari pekerjaan kita sendiri, supaya Tuhan Yesus bekerja di dalam diri kita dan supaya kita dapat beristirahat dalam karya Allah.[7]
b. Segi anthroposentris
Larangan bekerja ini juga berdasarkan suatu keperluan sosial. Di dalam firman itu, Tuhan melindungi kemanusiaan kita dan Dia tidak menghendaki kita menjadi buidak atas pekerjaan kita. Manusia sangat memerlukan istirahat, baik roh, badan maupun jiwa.

III. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan dan pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa pada hari Tuhan, kita sebagai umat Tuhan masih bisa melakukan pekerjaan, seperti merawat orang sakit dan melakukan pelayanan sosial kepada orang yang memerlukan merupakan perbuatan yang benar. Selain itu, bagi mereka yang diharuskan untuk bekerja pada hari Minggu, seperti pekerjaan di perusahaan perhubungan dan dalam bidang keamanan negara tidak dapat dihentikan dan sangat wajar.
Istirahat pada hari Minggu sesekali tidak boleh dipandang sebagai istirahat yang tak terbatas dan mutlak. Kita masih bisa mencari hiburan pada hari Minggu yang sesuai dengan watak, gaya dan sifat perayaan hari Tuhan, misalkan bertamasya bersama keluarga, menonton TV, olahraga, dan lain-lain.
“Ingat dan kuduskanlah hari Sabat”. Menguduskan adalah mengkhususkan untuk Allah, memisahkan hari-hari lainnya untuk persekutuan dengan Allah. Berhenti dari segala pekerjaan bermaksud supaya ada waktu untuk Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Calvin,Yohanes. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1999
Cotton, Paul. From Sabbath To Sunday. Bethlehem: Times Publishing Company. 1933
Verkuyl,DR. J. Etika Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989
[1] Paul Cotton, From Sabbath To Sunday, (Bethlehem: Times Publishing Company, 1933), hal. 12
[2] DR. J. Verkuyl, Etika Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989) hal. 182
[3] Ibid., hal. 183
[4] Ibid., hal. 185
[5] Paul Cotton., Op.,Cit., hal. 81
[6] DR. J. Verkuyl, Op.,Cit., Hal. 190
[7] Yohanes Calvin, Institutio, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 100

ETIKA KRISTEN DAN PERJANJIAN BARU

ETIKA KRISTEN DAN PERJANJIAN BARU
(Pengajaran Yesus Berkaitan dengan Hukum Taurat)

I. Pendahuluan
Etika Kristen dan Perjanjian Baru dalam paper ini berbicara mengenai pengajaran Yesus. Yesus memberikan pengajaran yang menjadi teladan mengenai banyak hal bagi umat yang melihat, mendengar, dan merasakan, khususnya umat Yahudi yang ada bersama-sama dengan Dia. Pengajaran etika Yesus sebenarnya berawal dari hukum Musa yang berlandaskan kehendak Allah. Etika Kristen tidak hanya etika pribadi, tetapi yang penting diingat adalah bahwa etika Kristen beranjak dari dasar ‘kasih’, seperti yang tertulis dalam Alkitab yang mengatakan bahwa manusia wajib mengasihi Tuhan, sesama dan diri sendiri.[1] Dalam paper ini akan dibahas mengenai pengajaran Yesus yang berkaitan dengan Hukum Taurat yang diterima Musa.

II. ISI
1. Ajaran Yesus: Khotbah di Bukit
Khotbah di Bukit merupakan pengajaran (pidato) Yesus yang pertama dari lima pidato besar dalam injil Matius (bdk. Mat. 10; 13; 18; 24-25). Lima pengajaran Yesus ini sering disejajarkan dengan Pentateuch dan Yesus sendiri dibandingkan dengan Musa, dimana Yesus “naik ke atas bukit” (Mat. 5:1), sedangkan Musa naik ke atas Gunung Sinai. Hal ini membuat munculnya pandangan bahwa Khotbah di Bukit sebagai Taurat baru. Dalam Injil Matius, Khotbah di Bukit merupakan pewartaan dan pengarahan hidup sekaligus tantangan untuk mengambil sikap pribadi dan petunjuk hidup bersama yang ditonjolkan sebagai warta menyeluruh oleh Yesus mengenai Kerajaan Allah.[2]
Rumusan tema Khotbah di Bukit adalah :Ucapan Bahagia” (makarismus). Injil Matius mencatat 9 Ucapan Bahagia. Injil Matius memakai bentuk literer, yaitu Ucapan Bahagia yang mengungkapkan syarat masuk Kerajaan Allah, sekaligus menghindari kesan bahwa diuraikan sebagai syarat masuk kerajaan surga. Kesembilan makarismus terutama tidak memberikan dan menjelaskan syarat-syarat bagaimana orang dapat masuk kerajaan surga. Akan tetapi, ucapan bahagia memberikan pemahaman bahwa kerajaan surga sampai kepada mereka yang miskin dan berduka cita. Itulah inti atau tema umum bagi Khotbah di Bukit: Kerajaan surga telah sampai pada kenyataan hidup di dunia.[3]
2. Yesus dan Hukum Taurat
Ketika Yesus sedang mengajar dalam sinagoge (Injil Markus), semua orang yang hadir takjub mendengar pengajaran-Nya. Mereka berkata satu sama lain: “Apa ini? Suatu ajaran baru”(Mark.1:27). Yesus berkata “Hukum Taurat…berlaku sampai kepada zaman Yohanes; dan sejak waktu itu Kerajaan Allah diberitakan” (Luk. 16:16). Kalimat yang sering dikemukakan adalah perkataan dalam Injil Matius: “….bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya” (Mat. 5:17). Kata ‘menggenapi’ berarti sebagai memenuhi, melengkapi atau menyempurnakan. Ada tiga gejala yang merupakan cara Yesus menyempurnakan Hukum Taurat, yaitu Yesus mensyaratkan suatu patokan yang lebih mendasar daripada Hukum Taurat; Yesus bertindak dengan wibawa terhadap Hukum Taurat; dan Yesus sendiri sebagai perwujudan kehendak Allah yang sempurna, menggantikan Hukum Taurat.[4]
· Yesus mensyaratkan suatu patokan yang lebih mendasar daripada Hukum Taurat.
Bagi kaum Yahudi Hukum Taurat merupakan pengungkapan yang sempurna akan kehendak Allah dan yang akan dilestarikan selama-lamanya. Bagi Yesus, kehendak Allah terungkap melalui Hukum Taurat, walaupun keduanya tidak disamakan. Yesus melarang adanya perceraian: “…apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” Di sini Yesus melawan perundangan Musa (Ul. 24:1-4) dengan pernyataan yang diambil-Nya dari kitab Kejadian 1:27;2:1-4: “Pada awal dunia Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Yesus menunjuk pada kitab Kejadian sebagai pengungkapan atas kehendak Allah yang sesungguhnya dan bukan pada hokum Musa. Hal ini dikarenakan Yesus menyelami kehendak Allah secara langsung-tidak perlu mensyaratkan landasan yang lain, dan kehendak Allah itulah yang menjadi patokan yang dianggap Yesus lebih mendasar dari pada Hukum Taurat.[5]
· Yesus bertindak dengan wibawa terhadap Hukum Taurat.
Kewibawaan Yesus terhadap Hukum Taurat dapat dilihat di bawah ini:[6]
Jangan Membunuh
Yesus menekankan bahwa kehendak Allah tidak hanya mengenai perbuatan dan pelaksanaan, melainkan termasuk juga maksudnya yang mendalam seperti kebencian dalam hati pantas dihukum.
Jangan Berzinah
Bagi Yesus, perzinahan bukan pelanggaran hokum melainkan perbuatan moral.
Kejujuran
Yesus sangat melarang untuk bersumpah, baik bersumpah palsu maupun mengindahkan janji. Kewibawaan Allah menuntut hati manusia yang jujur, tidak hanya dalam sumpah, melainkan juga dalam pembicaraan dan tindakan maupun dalam hal-hal yang biasa.
Pembalasan
Yesus menuntut untuk meninggalkan prinsip pembalasan atau untuk “tidak melawan/bersengketa”. Yesus menuntut supaya orang tidak bersengketa melainkan melepaskan hak berhadapan dengan sesama.
Cinta tidak terbatas
Yesus menolak sikap perlawanan terhadap musuh dan mengajarkan agar mengasihi musuh. Kasih kepada musuh bukan hanya sikap orang Kristen dalam penganiayaan atau siasat terhadap lawan pribadi melainkan merupakan kekhasan atau kelebihan orang Kristen.
· Yesus sendiri sebagai perwujudan kehendak Allah yang sempurna, menggantikan Hukum Taurat.
Hubungan antara manusia dan Allah tidak lagi tergantung pada hubungan dengan Taurat melainkan pada hubungan dengan Yesus. Dialah yang menjadi satu-satunya pengantara bagi Allah dan manusia, bahkan Dialah jalan keselamatan yang tunggal. Pada hakikatnya, yang menggantikan Hukum Taurat bukanlah perintah-perintah Yesus, melainkan Yesus sendiri, dan semata-mata oleh karena itulah apa yang diajarkan-Nya menjadi wajib bagi kita.[7]
III. Kesimpulan
Melalui pembahsan di atas dapat disimpulkan bahwa pengajaran Yesus merupakan suatu bentuk penyempurnaan terhadap Hukum Taurat, yaitu hukum yang telah disalahartikan oleh umat Yahudi. Yesus hadir dalam kehidupan manusia untuk menjelaskan ajaran-Nya yang secara khusus berkaitan dengan Hukum Taurat, sebab melalui Hukum Taurat itulah Yesus menunjukkan perbuatan-perbuatan etis. Yesus memberikan patokan untuk mengukur Hukum Taurat, dimana bagian tertentu diteguhkan dan yang lain diperdalam atau bahkan didingkirkan. Yesus juga mengajak setiap orang untuk berpikir dan memahami maksud ajaran-Nya dan pada akhirnya perbuatan-perbuatan Yesus tersebut menunjuk keadilan, kasih, dan kebenaran.

Daftar Pustaka
Dewar, Lindsay, An Outline of New Testament Ethics, Philadelphia: The Westminster Press.
Fletcher, Verne H, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen, Yogyakarta: Duta Wacana University. 1990.
Kieser, Bernhard, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
[1] Lindsay, Dewar, An Outline of New Testament Ethics, (Philadelphia: The Westminster Press), hal 13.
[2] Bernhard, Kieser, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 53.
[3] Ibid., hal. 60.
[4] Verne H, Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen, (Yogyakarta: Duta Wacana University, 1990), hal.160-167.
[5] Ibid., hal 160
[6] Op.,Cit., Bernhard, Kieser, hal. 65-70
[7] Op.,Cit., Verne H. Fletcher, hal. 167

Pendidikan Agama Kristen menurut Thomas Groome dan

Pendidikan Agama Kristen menurut Thomas Groome dan
Randolph Crump Miller

Persamaan dan Perbedaan Teologi Groomed an Miller
Groome dan Miller merupakan tokoh Pendidikan Agama Kristen yang menganut paham yang tidak anti perubahan. Teologi mereka tidak hanya berisi tentang dogma, tetapi juga cenderung memasukkan unsur-unsur yang relevan untuk masa kini. Mengenai teologinya, Groome tidak mengesampingkan dogma maupun warisan tradisi gereja, tetapi tetap berkomunikasi dengan perkembangan zaman. Hal yang serupa juga dilakukan Miller. Dia menolak dengan tegas teologi yang tidak memiliki tujuan yang jelas. Keduanya setuju untuk menggunakan sumber-sumber yang akan membuat PAK lebih relevan di masa kini. Misalkan dari pengalaman pribadi dan ilmu social yang ada/sumber-sumber sekuler.
Perbedaan di antara keduanya dapat dilihat pada penggunaan sumber-sumber sekuler tersebut. Groome lebih terbuka dan menerima sumber-sumber sekuler (ilmu-ilmu sosial) untuk dapat menerjemahkan pemahaman PAK untuk masa kini. Groome juga lebih menekankan pada pentingnya dialog untuk dapat menetapkan teologi yang akan dibawa oleh PAK. Miller sendiri hanya ingin melakukan perubahan dan tidak menggunakan dialog dalam berteologi di sekitar PAK. Miller sangat berhati-hati dengan sumber-sumber sekuler. Hal ini dikarenakan sumber-sumber sekuler tersebut tidak focus pada tujuan PAK. Bagi Miller teologi merupakan sebagai kebenaran tentang Allah dalam hubungan dengan manusia. Penemuan suatu teologi yang relevan yang akan menjembatani jurang pemisah antara isi dan metode adalah kunci bagi Pendidikan Agama Kristen. Teologi ini akan menjadi latar belakang dan titik tolok untuk memahami kebenaran Kristen.

Persamaan dan Perbedaan dalam Tujuan dan Praktek Pendidikan dalam Iman
Groome dan Miller memiliki sedikit kesamaan dalam tujuan PAK, yaitu untuk membangun iman atau kematangan dalam iman Kristen. Selain itu juga, mereka sama-sama ingin agar seseorang dapat mengenal Allah dengan sempurna. Sedangkan mengeanai perbedaan, keduanya memiliki banyak perbedaan. Groome ingin mewujudkan kerajaan Allah dalam Yesus Kristus, tetapi Miller sama sekali tidak menyinggung hal ini. Dalam prakteknya sendiri khususnya mengenai kebaktian, Groome lebih menekankan pada pentingnya interaksi dua arah dalam kelas, sedangkan Miller lebih menekankan pada arti ibadah sesungguhnya, yaitu pada pemilihan lagu, pengaturan ruangan dan pemilihan bacaan Firman Tuhan.
Groome memiliki tiga tujuan PAK, yaitu pendidikan untuk Kerajaan Allah, pendidikan untuk iman Kristen, pendidikan untuk kebebasan manusia. Miller mengatakan bahwa pusat dari Pendidikan Agama Kristen adalah Allah. Untuk itulah para pendidik harus mengantar pelajar sedemikian rupa, sehingga ia mengalami pengalaman yang benar dengan Allah, Bapa Tuhan Yesus Kristus.

Kelebihan dan Kekurangan Teori Groome dan Miller dalam Konteks Indonesia Masa Kini

Kelebihan Groome:
Thomas Groome memiliki pendekatan teologi yang sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia yang disebut Shared-praxis approach yang mencoba mendialogkan ortodoksi dan ortopraksis. Tidak menutup kemungkinan pendekatan inilah yang tepat pada masa kini. Contohnya, anak-anak tidak cukup diajar untuk mengenal dan menghafal tokoh-tokoh dan cerita-cerita Alkitab, melainkan mereka dapat mendialogkannya dengan kenyataan masa kini. Misalkan dengan melalui identifikasi dengan tokoh-tokoh Alkitab, mengatasi konflik sesuai dengan Firman dan hukum Tuhan, hidup bersama dengan orang banyak yang plural dan sebagainya.
Groome sendiri memiliki kelebihan yang lain yang disebut dengan five movements, yaitu Naming Present Action, Critical Reflection on Present Action, Making Accessible Christian Story and Vision, Dialectical Hermeneutic to Appropriate Christian Story/Vision to Participants Stories and Vision, and Decisiom/Response for Live Christian Faith. Five Movements ini juga bisa diterapkan di lingkungan Pendidikan Indonesia
Kekurangan Groome:
Kekurangan dari teori Groome dapat dilihat dari langkah-langkah yang disebut dengan Five Movements. Ketika mengikuti langkah-langkah ini, sudut pandang kita lebih terarah pada subjektivitas. Kita melihat peristiwa itu dan menganalisa sampai pada prakteknya menurut sudut pandang kita dan mencoba mencari peristiwa yang sama yang ada dalam Alkitab sebagai patokan. Di sini akan terjadi multitafsir. Kita akan memandang suatu peristiwa dengan sudut pandang kita sendiri.

Kelebihan Miller:
Miller memberikan pendekatan kurikuler yaitu bahan sentris, yaitu bahan yang Alkitab-sentris, gereja-sentris, ataupun pokok teologi-sentris. Pendekatan lainnya adalah kehidupan/pengalaman-sentris. Ia pun menggolongkan beberapa metode, yaitu usaha memberitahukan, memperlihatkan, mengadakan pertukaran-pikiran dan kegiatan kelompok. Miller sangat menghargai dan menghormati ibadah sehingga ia mengutamakan pentingnya untuk merencanakan suasana ibadah. Baginya kebaktian merupakan integral dari PAK, karena kebaktian adalah lingkungan yang luas bagi pelaksanaan PAK itu sendiri. Saya setuju dengan pemikiran Miller khususnya dalam kurikulumnya yang Teologi-sentris. Struktur yang ia terapkan sudah sangat baik untuk di terapkan di gereja-gereja Indonesia.
Kekurangan Miller: Kekurangan teori Miller dapat dilihat dalam penggunaan sumber-sumber sekuler dalam kemasyarakatan atau pengalaman kolektif yang harus berperan di dalam perkembangan materi pengajarannya kurang dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang mayoritas agama Islam.

Pengajaran Paulus Berkaitan Dengan Hukum Taurat dan Perbuatan-Perbuatan Etis

Pengajaran Paulus Berkaitan Dengan Hukum Taurat dan Perbuatan-Perbuatan Etis

I. PENDAHULUAN
Paulus adalah pelopor dan penulis Kristen pertama yang memberikan pikirannya kepada masalah etika.[1] Paulus adalah orang yang dulunya taat kepada Hukum Taurat, tetapi berbalik menggantikan kesetiaannya kepada Taurat dengan pengandalan kepada Kristus. Dulunya Paulus adalah seorang jahat yang menganiaya pengikut-pengikut Yesus. Dia menganiaya para pengikut Yesus atas nama Taurat karena mereka memberitakan mesias yang palsu. Sementara melakukan perjalan ke Damsyik, Yesus menampakkan diri padanya. Yesus pun berkata kepada Paulus: “Akulah Yesus yang engkau aniaya”. Artinya, dengan menindas para pengikut Yesus, Paulus sedang menganiaya Yesus yang telah diutus dan dibenarkan Allah. Mengapa begitu cepat Paulus menggeser pemikirannya tentang Taurat dengan mengandalkan Kristus? Bagaimana hubungan ajaran Paulus dengan Hukum Taurat?

II. ISI
Perubahan yang mendalam pada diri Paulus yang dulunya taat pada hukum Taurat akhirnya berbalik mengandalkan Kristus dimulai ketika ia mendengar perkataan dari mulut Yesus yang telah bangkit: “Akulah Yesus yang engkau aniaya”. Yesus menampakkan diri kepada Paulus sebagai yang dibenarkan Allah. Sebelum peristiwa ini Paulus menganggap bahwa peristiwa itu mustahil untuk terjadi. Hal ini dikarenakan Taurat mengatakan: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib (Gal. 3:13)! Selain itu juga, gaya hidup Yesus yang bersahabat dengan orang berdosa sangat menghebohkan bagi masyarakat yang taat pada Taurat. Padahal, gaya hidup Yesus itulah yang benar di hadapan Allah sehingga Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Dengan demikian, Paulus menginsafi bahwa kerajinannya dalam memelihara Hukum Taurat lah yang menutup matanya terhadap penyataan Allah.[2] Paulus akhirnya sadar akan kekhilafannya atas penganiayaan yang dilakukannya terhadap para pengikut Yesus.
Ajaran Paulus
Model ungkapan Paulus adalah surat, semi formal, semi-public letter, digambarkan untuk perbaikan dan petunjuk bagi jemaah. Etika Paulus sebagian besar ditentukan oleh teologinya, tetapi kadang-kadang dia jatuh ke belakang pada standar hukum.[3] Rasul Paulus memberi tekanan kepada jemaat Roma, yaitu mengajarkan pembenaran karena iman, bukan karena perbuatan melaksanakan Hukum Taurat (Rm. 3:28). Menurut Paulus, kemerdekaan tergolong kepada keinginan Roh, yang berlawanan dengan keinginan daging. Paulus mendaftarkan perbuatan-perbuatan daging yang membuat manusia menjadi hamba dosa: yaitu percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseturuan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal. 5:19-21). Dan sebagai buah Roh adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23).[4]
Dalam surat-surat Paulus terdapat ajakan paranese (Gal. 5:25: “Jika kita hidup dari Roh, marilah kita juga berlaku menurut Roh!”), nasihat-nasihat rohani (1 Tes. 5:16-18: “bersukacitalah senantiasa; tetaplah berdoa; mengucap syukurlah dalam segala hal…”) dan kadang-kadang pengarahan untuk kasus konkret (1 Kor. 14:34: “sama seperti dalam semua jemaah orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat”).[5]
Paulus memandang diri sebagai rasul Kristus dan dalam tugasnya itu ia menggunakan kebijaksanaan yang ada. Paulus tidak bermaksud menguraikan moral, tetapi membina iman yang terwujud dalam perbuatan. Paulus memberikan beberapa patokan konkret yang pengarahannya berupa teologis dan rohani, yaitu membiarkan dikasihi Allah (Rm. 8:38-39), untuk tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri (2 Kor. 5:14), dan memenuhi hokum Kristus dengan mengasihi (bdk. Gal. 6:2).[6] Selain itu, dalam surat-surat Paulus terdapat juga aturan-aturan konkret yang bersifat sosial dan menyangkut moral pribadi yang dihubungkan dengan perintah kasih.[7]
Paulus dan Hukum Taurat
Dalam buku Lihatlah Sang Manusia, Paulus memisahkan antara dua zaman, yaitu masa perbudakan di bawah kuasa Taurat dan masa kebebasan yang dibawa Kristus. Paulus sendiri mengakui bahwa kedatangan Kristus merupakan titik pemilah antara dua zaman.[8] Peranan Taurat hingga Kristus ditegaskan sebagai yang mengurung orang di bawah kuasa dosa. Ketika Kristus datang kita telah dilepaskan menjadi anak-anak-Nya dalam Kerajaan Allah, bukan seperti budak yang dikuasai dosa dan takhluk kepada Hukum Taurat.
Paulus memiliki dua pandangan terhadap Hukum Taurat, yaitu pandangan dari segi positif dan segi negatif. Taurat “dimaksudkan untuk memberi hidup” (Rm 7:10 BIS) sehingga dapat dicirikan sebagai “kudus, benar dan baik” (Rm 7:12), bahkan bersifat “rohani” juga (7:14), dan dapat digemari (7:22 ENDE). Paulus juga berpendapat bahwa penerimaan Taurat merupakan salah satu warisan istimewa bagi kaum Israel (Rm 9:4). Inilah segi positif dari penilaian Paulus. Segi negatif dari penilaian Paulus sangat menonjol, yaitu Taurat yang “seharusnya membawa kepada hidup” justru sebaliknya “membawa kepada kematian” (Rm 7:10; lih. 2 Kor 3:6,9). Paulus menyebut Hukum tertulis dengan “hukum dosa dan hukum maut” (Rm 8:2). Demikianlah Paulus membedakan antara maksud yang asli dan peranan yang nyata, yaitu antara Taurat sebagai karunia Allah dan Taurat sebagai tuduhan dan hukuman karena dosa.[9]
Paulus membedakan antara elemen-elemen dalam hukum Yahudi yang mengikat umat Kristen dan elemen-elemen yang tidak pernah dia ceritakan, tetapi anggapan dasarnya adalah bahwa tata cara hukum sesungguhnya harus dibuang.[10] Paulus mengganti nomos dengan ‘sesuatu yang lain’ yang terdiri dari tiga butir:[11]
Setiap terdapat kata nomos sendirian itu menunjuk pada Hukum Taurat, sedangkan apabila Paulus ingin membicarakan tuntutan yang berlaku karena Injil ditambahkannya predikat. Contohnya, Roma 8:2: “Hukum Roh yang memberi hidup dalam Kristus Yesus” jelas bahwa sebuah hukum yang menghidupkan agak berbeda dengan hukum dalam arti yang biasa, khususnya kalau diingat wawasan Paulus pada umumnya. Paulus menggunakan kata nomos di sini karena tampaknya supaya seimbang dengan ucapan pada akhir kalimat: “hukum dosa dan hukum maut”.
Apabila Paulus sedang memberikan wejangan etis kepada orang Kristen maka istilah nomos dielakkannya. Paulus lebih menyukai menggunakan istilah-istilah seperti kehendak Allah, apa yang berkenan kepada Allah atau apa yang berkenan kepada Tuhan (Rm. 12:1-2; 1 Tes. 4:3).
Paulus tidak mendasarkan wejangan pada kewibawaan Hukum Taurat melainkan pada kewibawaan dari ‘sesuatu yang lain’. Misalnya, dalam 1 Kor. 6:15-17, peringatan melawan perzinahan tidak didasari keanggotakan dalam tubuh Kristus.
Melalui tiga alasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi Paulus ‘sesuatu yang lain’ yang berwibawa dalam kehidupan Kristen serta yang mendasari tuntutan etika Kristen, tak lain dan tak bukan adalah realitas baru dalam Kristus.[12]

III. KESIMPULAN
Ajaran Paulus sangat berpatokan pada Yesus. Hal ini dapat dilihat dari ajarannya yang meneladani Yesus. Ajaran Yesus yang banyak ditonjolkan adalah kasih. Pengarahan utama Paulus adalah nasihat teologis: membiarkan dikasihi Allah, untuk tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri dan memenuhi hukum Kristus dengan mengasihi. Ajaran Paulus tidak menguraikan moral, tetapi ajaran yang membina iman yang terwujud dalam perbuatan.
Peristiwa di atas memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa begitu mendadak pemikiran Paulus tentang Taurat digeser dan diganti dengan Kristus. Paulus berkesimpulan bahwa hukum Taurat tidak dapat diandalkan lagi melainkan telah diganti oleh Ia-yang-disalibkan. Bagi Paulus, kematian sekaligus kebangkitan Yesus merupakan garis batas antara dua zaman, yaitu masa perbudakan di bawah kuasa Taurat dan masa kebebasan yang dibawa Kristus.
Tiga alasan Paulus menggantikan nomos dengan ‘sesuatu yang lain’ didasarkan pada serangkaian landasan yang berkaitan dengan realitas baru dalam Kristus. Realitas tersebut diantaranya adalah kewibawaan ajaran Yesus, hidup menurut tuntutan kasih, Kerajaan Allah yang membawa kebenaran, kedamaian dan kegembiraan dalam Roh Kudus, hal mengabdi kepada Kristus, apa yang berkenan kepada Allah, yang berguna untuk saling membangun, dan lain-lain. Hubungan antara manusia dengan Allah tidak lagi dapat tergantung pada hubungan dengan Hukum Taurat melainkan pada hubungan dengan Yesus Kristus.


DAFTAR PUSTAKA

Dewar, Lindsay, An Outline of New Testament Ethics, Philadelphia: The Westminster Press.

Fletcher, Verne H, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar, Yogyakarta: Duta Wacana University, 1990.

Houlden, J. L, Ethics and The New Testament, Edinburg: T&Clark, 1992.

Jongneel, J. A. B, Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen, Jilid 1: Bagian Umum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980.

Kieser, Bernhard, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
[1] J. L. Houlden, Ethics and The New Testament, (Edinburg: T&Clark, 1992), hal. 25
[2] Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar, (Yogyakarta: Duta Wacana University, 1990), hal. 168.
[3] Op.,Cit., Houlden, hal. 25
[4] J. A. B. Jongneel, Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen, Jilid 1: Bagian Umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hal. 91-92
[5] Bernhard Kieser, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 190.
[6] Ibid., hal. 195
[7] Lindsay, Dewar, An Outline of New Testament Ethics, (Philadelphia: The Westminster Press,), hal. 127
[8] Op.,Cit., Fletcher, hal. 168
[9] Ibid., hal. 170
[10] Op.,Cit., Houlden, hal. 33
[11] Op.,Cit., Fletcher, hal. 172-173
[12] Ibid., hal. 174

Imajinasiku

Imajinasiku
Dulu…
Aku Terus Berharap
Berharap Tanpa Hentinya
Akankah Aku Menemukan Dirimu?
Kamu Yang Selalu Hadir Dalam Imajinasiku
Hadir Mengisi Kesendirianku
Kamu Yang Tak Kuketahui Wujudmu
Dalam Imajinasiku
Kamu Adalah Seseorang Yang Kucintai
Kamu Adalah Seseorang Yang Mencintaiku
Kamu Adalah Imajinasiku
Sekarang…
Aku dan Kamu Bertemu
Kita Bersama-sama Membuat Keputusan
Aku Mencintaimu Sekalipun…
Kamu Beda Dengan Imajinasiku
Kamu Adalah Seseorang Yang Aku Butuh
Nantinya…
Aku dan Kamu Tetap Selamanya
Cintaku dan Cintamu Tetap Bertumbuh
Menjadikannya Sebuah Anugerah Terindah
Inilah Imajinasiku…