Rabu, 20 Mei 2009

ETIKA KRISTEN DAN PERJANJIAN BARU

ETIKA KRISTEN DAN PERJANJIAN BARU
(Pengajaran Yesus Berkaitan dengan Hukum Taurat)

I. Pendahuluan
Etika Kristen dan Perjanjian Baru dalam paper ini berbicara mengenai pengajaran Yesus. Yesus memberikan pengajaran yang menjadi teladan mengenai banyak hal bagi umat yang melihat, mendengar, dan merasakan, khususnya umat Yahudi yang ada bersama-sama dengan Dia. Pengajaran etika Yesus sebenarnya berawal dari hukum Musa yang berlandaskan kehendak Allah. Etika Kristen tidak hanya etika pribadi, tetapi yang penting diingat adalah bahwa etika Kristen beranjak dari dasar ‘kasih’, seperti yang tertulis dalam Alkitab yang mengatakan bahwa manusia wajib mengasihi Tuhan, sesama dan diri sendiri.[1] Dalam paper ini akan dibahas mengenai pengajaran Yesus yang berkaitan dengan Hukum Taurat yang diterima Musa.

II. ISI
1. Ajaran Yesus: Khotbah di Bukit
Khotbah di Bukit merupakan pengajaran (pidato) Yesus yang pertama dari lima pidato besar dalam injil Matius (bdk. Mat. 10; 13; 18; 24-25). Lima pengajaran Yesus ini sering disejajarkan dengan Pentateuch dan Yesus sendiri dibandingkan dengan Musa, dimana Yesus “naik ke atas bukit” (Mat. 5:1), sedangkan Musa naik ke atas Gunung Sinai. Hal ini membuat munculnya pandangan bahwa Khotbah di Bukit sebagai Taurat baru. Dalam Injil Matius, Khotbah di Bukit merupakan pewartaan dan pengarahan hidup sekaligus tantangan untuk mengambil sikap pribadi dan petunjuk hidup bersama yang ditonjolkan sebagai warta menyeluruh oleh Yesus mengenai Kerajaan Allah.[2]
Rumusan tema Khotbah di Bukit adalah :Ucapan Bahagia” (makarismus). Injil Matius mencatat 9 Ucapan Bahagia. Injil Matius memakai bentuk literer, yaitu Ucapan Bahagia yang mengungkapkan syarat masuk Kerajaan Allah, sekaligus menghindari kesan bahwa diuraikan sebagai syarat masuk kerajaan surga. Kesembilan makarismus terutama tidak memberikan dan menjelaskan syarat-syarat bagaimana orang dapat masuk kerajaan surga. Akan tetapi, ucapan bahagia memberikan pemahaman bahwa kerajaan surga sampai kepada mereka yang miskin dan berduka cita. Itulah inti atau tema umum bagi Khotbah di Bukit: Kerajaan surga telah sampai pada kenyataan hidup di dunia.[3]
2. Yesus dan Hukum Taurat
Ketika Yesus sedang mengajar dalam sinagoge (Injil Markus), semua orang yang hadir takjub mendengar pengajaran-Nya. Mereka berkata satu sama lain: “Apa ini? Suatu ajaran baru”(Mark.1:27). Yesus berkata “Hukum Taurat…berlaku sampai kepada zaman Yohanes; dan sejak waktu itu Kerajaan Allah diberitakan” (Luk. 16:16). Kalimat yang sering dikemukakan adalah perkataan dalam Injil Matius: “….bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya” (Mat. 5:17). Kata ‘menggenapi’ berarti sebagai memenuhi, melengkapi atau menyempurnakan. Ada tiga gejala yang merupakan cara Yesus menyempurnakan Hukum Taurat, yaitu Yesus mensyaratkan suatu patokan yang lebih mendasar daripada Hukum Taurat; Yesus bertindak dengan wibawa terhadap Hukum Taurat; dan Yesus sendiri sebagai perwujudan kehendak Allah yang sempurna, menggantikan Hukum Taurat.[4]
· Yesus mensyaratkan suatu patokan yang lebih mendasar daripada Hukum Taurat.
Bagi kaum Yahudi Hukum Taurat merupakan pengungkapan yang sempurna akan kehendak Allah dan yang akan dilestarikan selama-lamanya. Bagi Yesus, kehendak Allah terungkap melalui Hukum Taurat, walaupun keduanya tidak disamakan. Yesus melarang adanya perceraian: “…apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” Di sini Yesus melawan perundangan Musa (Ul. 24:1-4) dengan pernyataan yang diambil-Nya dari kitab Kejadian 1:27;2:1-4: “Pada awal dunia Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Yesus menunjuk pada kitab Kejadian sebagai pengungkapan atas kehendak Allah yang sesungguhnya dan bukan pada hokum Musa. Hal ini dikarenakan Yesus menyelami kehendak Allah secara langsung-tidak perlu mensyaratkan landasan yang lain, dan kehendak Allah itulah yang menjadi patokan yang dianggap Yesus lebih mendasar dari pada Hukum Taurat.[5]
· Yesus bertindak dengan wibawa terhadap Hukum Taurat.
Kewibawaan Yesus terhadap Hukum Taurat dapat dilihat di bawah ini:[6]
Jangan Membunuh
Yesus menekankan bahwa kehendak Allah tidak hanya mengenai perbuatan dan pelaksanaan, melainkan termasuk juga maksudnya yang mendalam seperti kebencian dalam hati pantas dihukum.
Jangan Berzinah
Bagi Yesus, perzinahan bukan pelanggaran hokum melainkan perbuatan moral.
Kejujuran
Yesus sangat melarang untuk bersumpah, baik bersumpah palsu maupun mengindahkan janji. Kewibawaan Allah menuntut hati manusia yang jujur, tidak hanya dalam sumpah, melainkan juga dalam pembicaraan dan tindakan maupun dalam hal-hal yang biasa.
Pembalasan
Yesus menuntut untuk meninggalkan prinsip pembalasan atau untuk “tidak melawan/bersengketa”. Yesus menuntut supaya orang tidak bersengketa melainkan melepaskan hak berhadapan dengan sesama.
Cinta tidak terbatas
Yesus menolak sikap perlawanan terhadap musuh dan mengajarkan agar mengasihi musuh. Kasih kepada musuh bukan hanya sikap orang Kristen dalam penganiayaan atau siasat terhadap lawan pribadi melainkan merupakan kekhasan atau kelebihan orang Kristen.
· Yesus sendiri sebagai perwujudan kehendak Allah yang sempurna, menggantikan Hukum Taurat.
Hubungan antara manusia dan Allah tidak lagi tergantung pada hubungan dengan Taurat melainkan pada hubungan dengan Yesus. Dialah yang menjadi satu-satunya pengantara bagi Allah dan manusia, bahkan Dialah jalan keselamatan yang tunggal. Pada hakikatnya, yang menggantikan Hukum Taurat bukanlah perintah-perintah Yesus, melainkan Yesus sendiri, dan semata-mata oleh karena itulah apa yang diajarkan-Nya menjadi wajib bagi kita.[7]
III. Kesimpulan
Melalui pembahsan di atas dapat disimpulkan bahwa pengajaran Yesus merupakan suatu bentuk penyempurnaan terhadap Hukum Taurat, yaitu hukum yang telah disalahartikan oleh umat Yahudi. Yesus hadir dalam kehidupan manusia untuk menjelaskan ajaran-Nya yang secara khusus berkaitan dengan Hukum Taurat, sebab melalui Hukum Taurat itulah Yesus menunjukkan perbuatan-perbuatan etis. Yesus memberikan patokan untuk mengukur Hukum Taurat, dimana bagian tertentu diteguhkan dan yang lain diperdalam atau bahkan didingkirkan. Yesus juga mengajak setiap orang untuk berpikir dan memahami maksud ajaran-Nya dan pada akhirnya perbuatan-perbuatan Yesus tersebut menunjuk keadilan, kasih, dan kebenaran.

Daftar Pustaka
Dewar, Lindsay, An Outline of New Testament Ethics, Philadelphia: The Westminster Press.
Fletcher, Verne H, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen, Yogyakarta: Duta Wacana University. 1990.
Kieser, Bernhard, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
[1] Lindsay, Dewar, An Outline of New Testament Ethics, (Philadelphia: The Westminster Press), hal 13.
[2] Bernhard, Kieser, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 53.
[3] Ibid., hal. 60.
[4] Verne H, Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen, (Yogyakarta: Duta Wacana University, 1990), hal.160-167.
[5] Ibid., hal 160
[6] Op.,Cit., Bernhard, Kieser, hal. 65-70
[7] Op.,Cit., Verne H. Fletcher, hal. 167

Tidak ada komentar:

Posting Komentar