ETIKA KRISTEN TENTANG FIRMAN KEEMPAT
“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat” (Keluaran 20:8)
I. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai hari Sabat tentu harus berbicara juga mengenai hari Minggu, karena keduanya saling berhubungan. Banyak interpretasi yang muncul mengenai hari Sabat, baik dari zaman Perjanjian Lama sampai zaman modern ini. Begitu banyak pandangan yang muncul mengenai penetapan dan pemaknaan hari Sabat yang sebenarnya. Bukan hanya masalah penetapan dan pemaknaan, mana yang benar antara hari ketujuh atau hari pertama di setiap minggu yang menjadi hari penetapan dari hari Sabat, tetapi apa yang seharusnya dilakukan pada hari Sabat itu.
.
II. ISI
A. Hari Sabat dalam Perjanjian Lama
Hari Sabat dimaknai dalam penciptaan alam semesta yang tertulis dalam Kejadian 2:2-3: “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuatnya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuatnya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan mengduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatnya itu”. Hari itu dikhususkan Tuhan, karena Ia mau bergembira di dalam persekutuan dengan hasil karya-Nya.
Dalam Hukum Taurat orang Israel ditetapkan peraturan untuk merayakan hari Sabat di Israel. Dan Tuhan pun mengikat perjanjianNya dengan bangsa Israel, sehingga bagi mereka hari itu adalah hari yang sangat penting. Dengan demikian, Tuhan melakukan pekerjaan pelepasan dan pembebasan bagi bangsa Israel. Tuhan kemudianmemberikan tanda perjanjian bagi bangsa Israel, yaitu penetapan peraturan tentang hari Sabat, yang didasarkan pada Kitab Keluaran 20:8-11 dan Kitab Ulangan 5:14,15.[1]
Dalam Keluaran 20:8-11 yang merupakan dasar teologis, dijelaskan bahwa Allah yang dengan kasih karunia-Nya melepaskan Israel dari Mesir adalah Allah yang menjadikan langit dan bumi. Allah menginginkan persekutuan dengan umat-Nya dan umat meluangkan waktu satu hari di dalam seminggu untuk merayakan persekutuan dengan Dia sambil memperingati karya-Nya dengan cara beristirahat di rumah-Nya. Allah memberikan hari Sabat agar umat menguduskan hari itu. Karena hari Sabat merupakan hari yang penuh berkat dan sumber berkat bagi kehidupan di hari-hari lainnya.
Dalam Ulangan 5:14,15 merupakan dasar antroposentris, dijelaskan bahwa penetapan hari sabat didasarkan bukan hanya kepada Allah yang mengikat perjanjian, tetapi juga pada kebutuhan umat Allah sebagai anggota perjanjian tersebut. Di sini umat Israel diingatkan pada masa perbudakan di Mesir, dimana mereka tidak pernah beristirahat karena harus bekerja siang dan malam di setiap harinya. Oleh karena itu, Tuhan memberikan satu hari yaitu hari Sabat sebagai hadiah agar mereka bisa beristirahat setelah enam hari lamanya bekerja.
B. Hari Sabat dalam Perjanjian Baru
Berbicara mengenai hari Sabat dalam Perjanjian Baru tentu harus berbicara mengenai Yesus Kristus. Mengapa? Karena di dalam kitab Injil diketahui bahwa adanya hubungan yang istimewa antara Yesus dan hari Sabat. Dalam Perjanjian Lama, hari Sabat memberi kesaksian tentang Mesias yang adalah Sabat sejati menjadi kenyataan untuk memenuhi tahun rahmat Tuhan (bnd Yes 61:1-4). Yesus adalah Mesias yang telah datang dan kabar baik inilah yang diberitakan Yesus dalam rumah ibadat di Nazaret (Luk 4:14-22).
Pada suatu hari Sabat di rumah ibadat Nazaret, Yesus membuka kitab nabi-nabi dan membaca Yesaya 61. Kemudian Yesus mengatakan bahwa “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”. Yesus pun berkata bahwa makna dan arti penetapan hari Sabat itu telah dipenuhi sepenuhnya di dalam Dia.[2] Di dalam Dia telah datang “Sabat yang besar”, “tahun rahmat Tuhan dan “waktu yang sudah genap”. Oleh karena itu Yesus bangkit berdiri di antara manusia dan berseru kepada mereka: “Marilah kepadaku, semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).
Dalam kitab Injil sering dibahas tentang perselisihan antara Yesus dengan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat mengenai interpretasi dan pengenaan Firman tentang hari Sabat. Orang Farisi telah merubah pandangan Firman Keempat ini dengan ratusan peraturan yang mereka buat sendiri dan ratusan ketetapan buatan manusia. Peraturan dan ketetapan tersebut, seperti dilarang merawat orang sakit pada hari Sabat, dilarang memberi makan kepada hewan, dilarang menyalakan lampu, dilarang melakukan perjalanan dalam jarak tertentu, dan masih banyak ketentuan lainnya. Mereka pun saling mengintai dan memata-matai untuk saling menuduh dan mengecam bagi mereka yang melanggar peraturan dan ketentuan tersebut.
Yesus pun tidak tinggal diam. Dia menentang semua ketentuan yang telah ditetapkan pada hari Sabat oleh para ahli Taurat tersebut. Inilah letak dari inti perselisihan antara Yesus dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Dan inilah inti dari perlawanan Yesus dimana Dia menuduh para ahli Taurat tidak memahami atau tidak mau memahami rahasia ke-Mesias-an yang ada di dalam penetapan hari Sabat itu, yaitu hari Sabat memberitakan kedatangan Sang Mesias.[3] Orang Farisi telah membuat hari Sabat menjadi hari pelepasan diri sendiri, hari bersusah payah daripada hari untuk melihat tanda yang menunjuk kepada Sang Pembawa Damai dan Sumber kesukaan, yakni Sang Mesias dan Kerajaan-Nya.
C. Hari Sabat Menuju Hari Minggu
Penetapan hari Sabat pada hari pertama di setiap minggu bermula dari Rasul Paulus yang menentang ajaran-ajaran para guru Yahudi, yang menyuruh orang-orang merayakan hari Sabat menurut cara orang Farisi. Perjuangan Paulus melawan kaum Yahudi inilah yang menyebabkan dihapusnya perayaan hari ketujuh dan munculnya perayaan hari pertama, hari Minggu sebagai hari Tuhan.[4]
Penetapan ini juga didasarkan pada hari kebangkitan Yesus Kristus yang jatuh pada hari pertama minggu itu.[5] Yesus bangkit pada hari sesudah hari Sabat dan itulah hari kemenangan-Nya. Hari dimana adanya perdamaian, pengampunan dan hari pemulihan hubungan antara Allah dan manusia. Hari ini pun dinamakan dengan Hari Tuhan oleh orang-orang Kristen. Dalam bahasa Yunani hari itu disebut “Kuriake hemera”. Dalam bahasa Latin disebut dengan “Dies dominica” yang berasal dari kata “dominggo” (bahasa Portugis) dan dalam bahasa Indonesia disebut dengan hari Minggu.
D. Hari Sabat dalam pandangan dunia modern
Pandangan zaman sekarang mengenai hari sabat, baik penetapan harinya maupun cara memaknainya tidak jauh berbeda dengan pandangan zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Hal ini terlihat dari munculnya aliran Gereja yang menyebut diri dengan nama Gereja Advent Hari Ketujuh. Aliran ini mengikuti pemahaman Perjanjian lama, tetapi lebih kepada ajaran kaum Yahudi. Salah satu jemaat Gereja ini yang berlokasi di Manado sangat mempraktekkan ketetapan atau ketentuan yang dibuat oleh para ahli Taurat. Pada hari Sabat, mereka tidak boleh melakukan kegiatan apapun, seperti menonton TV dan kegiatan hiburan lainnya. Mereka cukup beristirahat di rumah saja. Hal ini dilakukan sejak hari Jumat sore yang dinamakan buka Sabat dan berakhir pada Sabtu sore yang dinamakan dengan tutup Sabat.
Gereja Protestan dan Katolik merayakan hari Tuhan pada hari pertama, yaitu pada hari Minggu. Sudah jelas bahwa Gereja-gereja ini mendasarkan pemahaman mereka pada Perjanjian Baru dan Gereja Kristen Purba. Mereka tetap beristirahat pada hari Tuhan, tetapi tetap merayakan persekutuan dengan Tuhan. Tidak hanya itu, mereka masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan lain, seperti merawat orang sakit dan melakukan pelayanan lainnya.
E. Hubungan Hari Sabat/Hari Minggu (hari Tuhan) dengan Etika Kristen
Hubungan antara hari Tuhan dengan etika Kristen terletak pada pemahaman atas perintah untuk beristirahat pada hari itu. Perintah ini mempunyai arti keagamaan dan arti sosial. Hal ini harus dipandang dari titik pangkal theosentris dan anthroposentris. Pada kedua unsur inilah berlaku ketentuan yang ada sangkut-pautnya dengan hubungan kita dengan Allah, hubungan kita dengan sesama manusia dan hubungan kita dengan diri sendiri.
a. Segi theosentris
Tuhan dalam Firman Keempat berseru kepada kita bahwa “Berhentilah hari ini dari pekerjaanmu, janganlah sekarang sibuk terus menerus, janganlah sekarang melanjutkan rencanamu dan pekerjaanmu”, dimaksudkan supaya perhatian kita dapat diarahkan kepada karya Tuhan, rencana Tuhan, keputusan Tuhan dan perbuatan Tuhan.[6] Hal ini dinyatakan juga oleh Calvin, yakni bahwa istirahat atau perhentian pada hari Tuhan itu dimaksudkan untuk mewujudkan perhentian rohani yang bagi kita terdiri dari berhenti dari pekerjaan kita sendiri, supaya Tuhan Yesus bekerja di dalam diri kita dan supaya kita dapat beristirahat dalam karya Allah.[7]
b. Segi anthroposentris
Larangan bekerja ini juga berdasarkan suatu keperluan sosial. Di dalam firman itu, Tuhan melindungi kemanusiaan kita dan Dia tidak menghendaki kita menjadi buidak atas pekerjaan kita. Manusia sangat memerlukan istirahat, baik roh, badan maupun jiwa.
III. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan dan pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa pada hari Tuhan, kita sebagai umat Tuhan masih bisa melakukan pekerjaan, seperti merawat orang sakit dan melakukan pelayanan sosial kepada orang yang memerlukan merupakan perbuatan yang benar. Selain itu, bagi mereka yang diharuskan untuk bekerja pada hari Minggu, seperti pekerjaan di perusahaan perhubungan dan dalam bidang keamanan negara tidak dapat dihentikan dan sangat wajar.
Istirahat pada hari Minggu sesekali tidak boleh dipandang sebagai istirahat yang tak terbatas dan mutlak. Kita masih bisa mencari hiburan pada hari Minggu yang sesuai dengan watak, gaya dan sifat perayaan hari Tuhan, misalkan bertamasya bersama keluarga, menonton TV, olahraga, dan lain-lain.
“Ingat dan kuduskanlah hari Sabat”. Menguduskan adalah mengkhususkan untuk Allah, memisahkan hari-hari lainnya untuk persekutuan dengan Allah. Berhenti dari segala pekerjaan bermaksud supaya ada waktu untuk Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Calvin,Yohanes. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1999
Cotton, Paul. From Sabbath To Sunday. Bethlehem: Times Publishing Company. 1933
Verkuyl,DR. J. Etika Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989
[1] Paul Cotton, From Sabbath To Sunday, (Bethlehem: Times Publishing Company, 1933), hal. 12
[2] DR. J. Verkuyl, Etika Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989) hal. 182
[3] Ibid., hal. 183
[4] Ibid., hal. 185
[5] Paul Cotton., Op.,Cit., hal. 81
[6] DR. J. Verkuyl, Op.,Cit., Hal. 190
[7] Yohanes Calvin, Institutio, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 100
Rabu, 20 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar