Pengajaran Paulus Berkaitan Dengan Hukum Taurat dan Perbuatan-Perbuatan Etis
I. PENDAHULUAN
Paulus adalah pelopor dan penulis Kristen pertama yang memberikan pikirannya kepada masalah etika.[1] Paulus adalah orang yang dulunya taat kepada Hukum Taurat, tetapi berbalik menggantikan kesetiaannya kepada Taurat dengan pengandalan kepada Kristus. Dulunya Paulus adalah seorang jahat yang menganiaya pengikut-pengikut Yesus. Dia menganiaya para pengikut Yesus atas nama Taurat karena mereka memberitakan mesias yang palsu. Sementara melakukan perjalan ke Damsyik, Yesus menampakkan diri padanya. Yesus pun berkata kepada Paulus: “Akulah Yesus yang engkau aniaya”. Artinya, dengan menindas para pengikut Yesus, Paulus sedang menganiaya Yesus yang telah diutus dan dibenarkan Allah. Mengapa begitu cepat Paulus menggeser pemikirannya tentang Taurat dengan mengandalkan Kristus? Bagaimana hubungan ajaran Paulus dengan Hukum Taurat?
II. ISI
Perubahan yang mendalam pada diri Paulus yang dulunya taat pada hukum Taurat akhirnya berbalik mengandalkan Kristus dimulai ketika ia mendengar perkataan dari mulut Yesus yang telah bangkit: “Akulah Yesus yang engkau aniaya”. Yesus menampakkan diri kepada Paulus sebagai yang dibenarkan Allah. Sebelum peristiwa ini Paulus menganggap bahwa peristiwa itu mustahil untuk terjadi. Hal ini dikarenakan Taurat mengatakan: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib (Gal. 3:13)! Selain itu juga, gaya hidup Yesus yang bersahabat dengan orang berdosa sangat menghebohkan bagi masyarakat yang taat pada Taurat. Padahal, gaya hidup Yesus itulah yang benar di hadapan Allah sehingga Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Dengan demikian, Paulus menginsafi bahwa kerajinannya dalam memelihara Hukum Taurat lah yang menutup matanya terhadap penyataan Allah.[2] Paulus akhirnya sadar akan kekhilafannya atas penganiayaan yang dilakukannya terhadap para pengikut Yesus.
Ajaran Paulus
Model ungkapan Paulus adalah surat, semi formal, semi-public letter, digambarkan untuk perbaikan dan petunjuk bagi jemaah. Etika Paulus sebagian besar ditentukan oleh teologinya, tetapi kadang-kadang dia jatuh ke belakang pada standar hukum.[3] Rasul Paulus memberi tekanan kepada jemaat Roma, yaitu mengajarkan pembenaran karena iman, bukan karena perbuatan melaksanakan Hukum Taurat (Rm. 3:28). Menurut Paulus, kemerdekaan tergolong kepada keinginan Roh, yang berlawanan dengan keinginan daging. Paulus mendaftarkan perbuatan-perbuatan daging yang membuat manusia menjadi hamba dosa: yaitu percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseturuan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal. 5:19-21). Dan sebagai buah Roh adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23).[4]
Dalam surat-surat Paulus terdapat ajakan paranese (Gal. 5:25: “Jika kita hidup dari Roh, marilah kita juga berlaku menurut Roh!”), nasihat-nasihat rohani (1 Tes. 5:16-18: “bersukacitalah senantiasa; tetaplah berdoa; mengucap syukurlah dalam segala hal…”) dan kadang-kadang pengarahan untuk kasus konkret (1 Kor. 14:34: “sama seperti dalam semua jemaah orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat”).[5]
Paulus memandang diri sebagai rasul Kristus dan dalam tugasnya itu ia menggunakan kebijaksanaan yang ada. Paulus tidak bermaksud menguraikan moral, tetapi membina iman yang terwujud dalam perbuatan. Paulus memberikan beberapa patokan konkret yang pengarahannya berupa teologis dan rohani, yaitu membiarkan dikasihi Allah (Rm. 8:38-39), untuk tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri (2 Kor. 5:14), dan memenuhi hokum Kristus dengan mengasihi (bdk. Gal. 6:2).[6] Selain itu, dalam surat-surat Paulus terdapat juga aturan-aturan konkret yang bersifat sosial dan menyangkut moral pribadi yang dihubungkan dengan perintah kasih.[7]
Paulus dan Hukum Taurat
Dalam buku Lihatlah Sang Manusia, Paulus memisahkan antara dua zaman, yaitu masa perbudakan di bawah kuasa Taurat dan masa kebebasan yang dibawa Kristus. Paulus sendiri mengakui bahwa kedatangan Kristus merupakan titik pemilah antara dua zaman.[8] Peranan Taurat hingga Kristus ditegaskan sebagai yang mengurung orang di bawah kuasa dosa. Ketika Kristus datang kita telah dilepaskan menjadi anak-anak-Nya dalam Kerajaan Allah, bukan seperti budak yang dikuasai dosa dan takhluk kepada Hukum Taurat.
Paulus memiliki dua pandangan terhadap Hukum Taurat, yaitu pandangan dari segi positif dan segi negatif. Taurat “dimaksudkan untuk memberi hidup” (Rm 7:10 BIS) sehingga dapat dicirikan sebagai “kudus, benar dan baik” (Rm 7:12), bahkan bersifat “rohani” juga (7:14), dan dapat digemari (7:22 ENDE). Paulus juga berpendapat bahwa penerimaan Taurat merupakan salah satu warisan istimewa bagi kaum Israel (Rm 9:4). Inilah segi positif dari penilaian Paulus. Segi negatif dari penilaian Paulus sangat menonjol, yaitu Taurat yang “seharusnya membawa kepada hidup” justru sebaliknya “membawa kepada kematian” (Rm 7:10; lih. 2 Kor 3:6,9). Paulus menyebut Hukum tertulis dengan “hukum dosa dan hukum maut” (Rm 8:2). Demikianlah Paulus membedakan antara maksud yang asli dan peranan yang nyata, yaitu antara Taurat sebagai karunia Allah dan Taurat sebagai tuduhan dan hukuman karena dosa.[9]
Paulus membedakan antara elemen-elemen dalam hukum Yahudi yang mengikat umat Kristen dan elemen-elemen yang tidak pernah dia ceritakan, tetapi anggapan dasarnya adalah bahwa tata cara hukum sesungguhnya harus dibuang.[10] Paulus mengganti nomos dengan ‘sesuatu yang lain’ yang terdiri dari tiga butir:[11]
Setiap terdapat kata nomos sendirian itu menunjuk pada Hukum Taurat, sedangkan apabila Paulus ingin membicarakan tuntutan yang berlaku karena Injil ditambahkannya predikat. Contohnya, Roma 8:2: “Hukum Roh yang memberi hidup dalam Kristus Yesus” jelas bahwa sebuah hukum yang menghidupkan agak berbeda dengan hukum dalam arti yang biasa, khususnya kalau diingat wawasan Paulus pada umumnya. Paulus menggunakan kata nomos di sini karena tampaknya supaya seimbang dengan ucapan pada akhir kalimat: “hukum dosa dan hukum maut”.
Apabila Paulus sedang memberikan wejangan etis kepada orang Kristen maka istilah nomos dielakkannya. Paulus lebih menyukai menggunakan istilah-istilah seperti kehendak Allah, apa yang berkenan kepada Allah atau apa yang berkenan kepada Tuhan (Rm. 12:1-2; 1 Tes. 4:3).
Paulus tidak mendasarkan wejangan pada kewibawaan Hukum Taurat melainkan pada kewibawaan dari ‘sesuatu yang lain’. Misalnya, dalam 1 Kor. 6:15-17, peringatan melawan perzinahan tidak didasari keanggotakan dalam tubuh Kristus.
Melalui tiga alasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi Paulus ‘sesuatu yang lain’ yang berwibawa dalam kehidupan Kristen serta yang mendasari tuntutan etika Kristen, tak lain dan tak bukan adalah realitas baru dalam Kristus.[12]
III. KESIMPULAN
Ajaran Paulus sangat berpatokan pada Yesus. Hal ini dapat dilihat dari ajarannya yang meneladani Yesus. Ajaran Yesus yang banyak ditonjolkan adalah kasih. Pengarahan utama Paulus adalah nasihat teologis: membiarkan dikasihi Allah, untuk tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri dan memenuhi hukum Kristus dengan mengasihi. Ajaran Paulus tidak menguraikan moral, tetapi ajaran yang membina iman yang terwujud dalam perbuatan.
Peristiwa di atas memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa begitu mendadak pemikiran Paulus tentang Taurat digeser dan diganti dengan Kristus. Paulus berkesimpulan bahwa hukum Taurat tidak dapat diandalkan lagi melainkan telah diganti oleh Ia-yang-disalibkan. Bagi Paulus, kematian sekaligus kebangkitan Yesus merupakan garis batas antara dua zaman, yaitu masa perbudakan di bawah kuasa Taurat dan masa kebebasan yang dibawa Kristus.
Tiga alasan Paulus menggantikan nomos dengan ‘sesuatu yang lain’ didasarkan pada serangkaian landasan yang berkaitan dengan realitas baru dalam Kristus. Realitas tersebut diantaranya adalah kewibawaan ajaran Yesus, hidup menurut tuntutan kasih, Kerajaan Allah yang membawa kebenaran, kedamaian dan kegembiraan dalam Roh Kudus, hal mengabdi kepada Kristus, apa yang berkenan kepada Allah, yang berguna untuk saling membangun, dan lain-lain. Hubungan antara manusia dengan Allah tidak lagi dapat tergantung pada hubungan dengan Hukum Taurat melainkan pada hubungan dengan Yesus Kristus.
DAFTAR PUSTAKA
Dewar, Lindsay, An Outline of New Testament Ethics, Philadelphia: The Westminster Press.
Fletcher, Verne H, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar, Yogyakarta: Duta Wacana University, 1990.
Houlden, J. L, Ethics and The New Testament, Edinburg: T&Clark, 1992.
Jongneel, J. A. B, Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen, Jilid 1: Bagian Umum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980.
Kieser, Bernhard, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
[1] J. L. Houlden, Ethics and The New Testament, (Edinburg: T&Clark, 1992), hal. 25
[2] Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar, (Yogyakarta: Duta Wacana University, 1990), hal. 168.
[3] Op.,Cit., Houlden, hal. 25
[4] J. A. B. Jongneel, Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen, Jilid 1: Bagian Umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hal. 91-92
[5] Bernhard Kieser, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 190.
[6] Ibid., hal. 195
[7] Lindsay, Dewar, An Outline of New Testament Ethics, (Philadelphia: The Westminster Press,), hal. 127
[8] Op.,Cit., Fletcher, hal. 168
[9] Ibid., hal. 170
[10] Op.,Cit., Houlden, hal. 33
[11] Op.,Cit., Fletcher, hal. 172-173
[12] Ibid., hal. 174
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar